Diposkan pada serba serbi

Komunikasi yang salah dengan anak

Mungkin ini bukan hal yang baru bagi para pembaca, tetapi bagi saya setelah menonton video dan membaca banya artikel tentang ini, saya sangat tersentak.

betapa banyak kesalahan yang kita lakukan tanpa sengaja, tidak disadari tetapi berdampak sangat besar pada buah hati kita.

anak itu titipan, jadi harus dijaga.

kita banyak menuntut lebih pada anak, tetapi kita abai dengan kewajiban yang harus kita lakukan sebagai orang tua.

ini adalah beberapa kutipan dari beberapa artikel yang saya baca setelah saya menonton video beberapa kesalahan dalam berkomunikasi pada anak kita.

Ada 12 gaya populer penghalang komunikasi :

1. Memerintah
Tujuan ortu : mengendalikan situasi dan menyelesaikan masalah dengan cepat.
Pesan yang ditangkap anak : harus patuh, tidak punya pilihan.

2. Menyalahkan
Tujuan ortu : memberitahu kesalahan anak.
Pesan yang ditangkap anak : tidak pernah benar/baik.

3. Meremehkan
Tujuan ortu : menunjukkan ketidakmampuan anak dan orang tua lebih tahu.
Pesan yang ditangkap anak : tidak berharga, tidak mampu.

4. Membandingkan
Tujuan ortu : memotivasi dengan memberi contoh kebaikan orang lain.
Pesan yang ditangkap anak : tidak sayang, pilih kasih, selalu kurang.

5. Mencap
Tujuan ortu : memberitahu kekurangan dengan maksud anak berubah.
Pesan yang ditangkap anak : itulah aku.

6. Mengancam
Tujuan ortu : supaya menurut/patuh dengan cepat.
Pesan yang ditangkap anak : cemas, takut.

7. Menasehati
Tujuan ortu : supaya anak tahu mana yang baik dan buruk.
Pesan yang ditangkap anak : sok tahu, bosan, dan bawel.

8. Membohongi
Tujuan ortu : membuat urusan jadi gampang.
Pesan yang ditangkap anak: orang tua/orang dewasa tidak dapat dipercaya.

9. Menghibur
Tujuan ortu : menghilangkan kesedihan atau kekecewaan, anak jadi senang terus dan jangan larut.
Pesan yang ditangkap anak: senang, lari dari masalah.

10. Mengkritik
Tujuan ortu : meningkatkan kemampuan dirinya agar anak memperbaiki kesalahan.
Pesan yang ditangkap anak: kurang, salah.

11. Menyindir
Tujuan ortu : memotivasi, mengingatkan supaya tidak melakukan seperti itu dengan cara menyatakan yang sebaliknya.
Pesan yang ditangkap : menyakiti hati.

12. Menganalisa
Tujuan ortu : mencari penyebab positif/negatif atau kesalahannya dan berupaya mencegahnya agar tidak melakukan kesalahan yang sama.
Pesan yang ditangkap anak : sok pintar.

bagaimana ini bisa terjadi dalam kehidupan kita, mungkin contoh ini bisa membuat kita sadar…

Elly Risman, Psi., dari Yayasan Kita dan Buah Hati, menyatakan ada 12 gaya komunikasi yang populer dilakukan orang tua. Walau disebut populer tapi belum tentu gaya komunikasi tersebut benar. Elly malah menyebutnya sebagai GKM alias gaya komunikasi menyimpang.

Ia memberi contoh kasus, seorang ibu yang melarang anaknya bermain di ruang tamu karena baru membeli guci yang harganya “selangit”. “Coba, ya Kakak sama Adik jangan main-main di situ. Tahu enggak, guci Mama itu baru. Harganya mahal banget. Nanti kalau kesenggol kan bisa pecah. Sana, mainnya di tempat lain. ”

Namun, namanya anak-anak, maklum saja kalau mereka tetap bermain di situ. Sampai tiba-tiba si Kakak terdengar menangis keras. Si ibu pun berlari tergopoh-gopoh. Ia menghela napas lega kala gucinya masih aman-aman saja di tempatnya. Namun, ia terperanjat saat kaki anaknya terluka karena terjatuh. Lalu mulailah sang ibu mengeluarkan 12 GKM tadi, yaitu :

1. “Tuh, kan tadi Mama bilang juga apa. Enggak denger, sih!” (Menyalahkan)
2. “Sudah, diam, jangan nangis!” (Memerintah)
3. “Katanya jagoan tapi kok nangis.” (Mengeritik)
4. “Benar, kan. Ini akibat kamu enggak mendengarkan mama. Lain kali kalau Mama bilang, nurut ya.” (Menasehati)
5. “Nakal, sih, enggak bisa diam.” (Melabel/Mencap)
6. “Coba sini Mama lihat lukanya. Ah, kayak begini aja masa sakit.” (Meremehkan)
7. “Adik aja waktu lukanya menganga enggak sampai nangis begitu.” (Membandingkan)
8. “Ya, sudah, besok pasti sembuh.” (padahal umumnya 3 hari baru sembuh) (Membohongi)
9. “Sudahlah, jangan dirasa-rasain. Nonton TV atau baca buku sajalah sana.” (Menghibur)
10. “Awas, ya kalau lain kali Mama bilang enggak nurut.” (Mengancam)
11. “Coba pikir, kenapa sampai terjatuh? Kan kamu enggak dengerin Mama? Kamu dorong-dorongan sama adik?” (Menganalisa), sambil terus mencecar kesalahan anak.
12. “Lain kali main dorong-dorongan lagi saja. Kan enak…!” (menyindir)

DAMPAK GKM
Padahal jika 12 GKM tadi terus-menerus dilakukan, menurut Elly, tak sedikit dampak yang diakibatkan. Di antaranya kepercayaan diri anak bisa hilang, anak merasa tidak punya harga diri, perasaan anak selalu tertekan, emosinya tak tersalurkan, dan komunikasi antara anak dan orang tua sesungguhnya tak pernah berjalan. Jelas saja jika akhirnya anak akhirnya frustrasi terhadap orang tua. Bahkan beberapa kasus salah komunikasi seperti itu, bisa berakibat fatal seperti yang kini banyak terjadi.

Elly melanjutkan, 12 GKM tak hanya akan
berdampak pada sisi kejiwaan anak, tapi juga akan mempengaruhi perkembangan otaknya. Menurutnya, komunikasi-komunikasi menyimpang tadi, yang berlangsung terus-menerus akan mengganggu sirkuit otak anak. Pasalnya, anak yang selalu dalam keadaan terancam tidak akan pernah bisa berpikir panjang apalagi belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Ini berkaitan dengan bagian otak yang bernama korteks yang merupakan pusat logika. Berarti di korteks inilah pusat kemampuan berpikir, kemampuan menganalisa, kemampuan memecahkan masalah hingga kemampuan mengambil keputusan.

Namun, korteks hanya dapat “dijalankan” kalau emosi anak dalam keadaan tenang. Bila tidak, atau saat anak dalam keadaan tertekan karena kerap dimarahi, tidak disayang, merasa tidak dibutuhkan, maka segala stimulus yang masuk hanya sampai di batang otak saja. Kalau sudah begitu, cara berpikir anak tak berbeda dengan cara berpikir binatang yang hanya menggunakan instink. Ya, seperti dikatakan tadi anak jadi tidak bisa berpikir panjang.

Oleh karena itu, dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua harus memperhatikan pula cara sirkuit otak bekerja. Apa pun kondisi orang tua, apakah sedang capek, letih lesu, sakit, tetaplah berusaha menjaga komunikasi yang tidak menyimpang dengan anak.
Dalam contoh kasus tadi, saat orang tua tahu anaknya terjatuh padahal sudah dilarang bermain di tempat itu, yang pertama mesti dilakukan adalah kendalikan diri jangan langsung bereaksi. Ini juga berlaku pada semua kasus.
Jika orang tua bisa mengendalikan diri berarti dia juga bisa mengendalikan emosinya sehingga otaknya memiliki waktu untuk berpikir, apakah perkataan yang dikeluarkan akan menyakitkan anak atau tidak. Dengan emosi yang terkendali sangat mungkin orang tua akan berkata, “Jatuh ya sayang. Sini Mama obatin. Lain kali enggak usah main dorong-dorongan lagi ya!”

tulisan ini saya kutip dari fbnya bapak  Mario Abu Abdillah dan blognya keluarga devisa.wordpress.com. 

Penulis:

Pemerhati Pendidikan yang tinggal di Ranah Minang

Tinggalkan komentar